Karya
Bidadari di Pintu Ka’bah

Bidadari di Pintu Ka’bah

Matahari Mekkah menyengat, memantulkan cahaya keperakan pada kain kiswah yang menyelimuti Ka’bah. Di antara lautan jemaah haji yang berdesakan, langkah kaki Sarah terhenti. Lelahnya perjalanan jauh dan ibadah yang tak henti seolah lenyap oleh sesosok di hadapannya.

Seorang perempuan muda, dengan wajah teduh dan sorban putih yang melilit kepalanya, tengah bersimpuh di depan pintu Ka’bah. Pakaian ihramnya yang sederhana tak bisa menyembunyikan aura keteduhan yang terpancar darinya. Gerakan bibirnya yang melantunkan doa terdengar begitu khusyuk, seakan tak terusik oleh hiruk-pikuk para jemaah lain.

Sarah terpikat. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan itu. Tatapan matanya yang bening memancarkan keikhlasan yang membuat Sarah merasa malu sendiri. Selama ini, Sarah bermimpi bisa berhaji demi gengsi dan pengalaman. Namun melihat perempuan itu, Sarah merasa ada yang kurang dalam niatnya.

Hari berganti hari. Sarah terus mengamati perempuan itu dari jauh. Ia melihat bagaimana perempuan itu selalu ringan tangan membantu jemaah lain yang membutuhkan, terutama yang lanjut usia. Ia tak pernah mengeluh, melayani setiap orang dengan senyum tulus.

Suatu saat, Sarah memberanikan diri untuk mendekatinya. “Maaf,” sapanya gugup.

Perempuan itu mendongak, senyumnya merekah. “Ya, ada apa?” suaranya lembut dan menenangkan.

“Saya Sarah,” kata Sarah memperkenalkan diri. “Saya kagum denganmu. Sejak awal saya lihat kamu selalu beribadah dengan khusyuk.”

Perempuan itu tersipu. “Nama saya Aisyah. Alhamdulillah, kita bisa bertemu di Tanah Suci ini.”

Perbincangan mereka mengalir lancar. Aisyah bercerita bahwa ia sudah lama sekali ingin menunaikan ibadah haji. Ia lahir dari keluarga miskin dan datang ke Baitullah dengan niat yang tulus, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mendengar cerita Aisyah, Sarah merasa hatinya terketuk. Ia sadar selama ini niatnya berhaji belumlah lurus. Gengsi dan hasrat penjelajahan masih bercampur aduk dengan niat ibadah yang sesungguhnya.

“Aisyah,” kata Sarah lirih, “apakah kamu bisa mengajariku beribadah dengan khusyuk seperti dirimu?”

Aisyah tersenyum. “Tentu saja, Sarah. Mari kita sama-sama belajar menjadi hamba yang lebih baik.”

Sejak saat itu, Sarah dan Aisyah tak terpisahkan lagi. Aisyah membimbing Sarah dalam setiap ibadahnya, mengajarkannya arti dari setiap doa yang dipanjatkan. Sarah pun merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tak lagi terburu-buru dalam beribadah, hatinya terasa lebih tenang dan damai.

Pada hari terakhir di Mekkah, Sarah hendak berpamitan dengan Aisyah. “Terima kasih banyak, Aisyah. Engkau telah mengubah hidupku,” ucapnya tulus.

Aisyah memeluk Sarah hangat. “Sama-sama, Sarah. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita.”

Saat berpisah, Sarah tak kuasa menahan air matanya. Sosok Aisyah yang sederhana namun memancarkan cahaya keimanan seolah enggan ia lepaskan. Namun, ia sadar bahwa pertemuan mereka di depan Ka’bah telah memberinya pelajaran berharga.

Sarah meninggalkan Mekkah dengan perasaan berbeda. Ia tak lagi mencari sosok bidadari di pintu Ka’bah. Ia sadar bahwa bidadari itu bukanlah perempuan yang cantik jelita, melainkan keikhlasan dan ketawadukan yang terpancar dari hati yang bersih. Keteduhan Aisyah telah menjadi pelita yang menerangi jalan Sarah menuju keimanan yang sejati.

*****

Mentari Mekkah menyapu wajah Ismail dengan lembut. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan panjang, akhirnya ia tiba di tanah suci. Impian yang dipendam bertahun-tahun, untuk melaksanakan ibadah haji, kini terwujud. Hatinya berdesir tak terkira.

Di antara lautan manusia yang berpakaian ihram putih, Ismail mencari rombongannya. Namun, matanya tak sengaja menangkap sosok yang membuatnya terpaku. Di dekat pintu Ka’bah yang mulia, berdiri seorang perempuan berparas ayu, dengan sorot mata teduh memancarkan cahaya kebaikan.

Parasnya sungguh memesona, bagai bidadari yang turun dari langit. Kain ihram yang dikenakannya tak kuasa menutupi aura kecantikan yang terpancar darinya. Para jamaah lain pun terlihat terpikat, namun tak seorang pun yang berani mendekat. Ada aura kesucian yang membuat mereka segan.

Ismail terkesima. Ia belum pernah melihat perempuan secantik itu. Namun, ia segera tersadar. Ia berada di tempat suci, fokusnya harus pada ibadah. Ia memaksa dirinya untuk mengalihkan pandangan dan segera bergabung dengan rombongan.

Sepanjang ibadah haji, bayangan perempuan itu terus terlintas di benak Ismail. Ia tak bisa melupakan wajah teduh dan aura kesucian yang terpancar darinya. Bahkan, saat thawaf mengelilingi Ka’bah, sorot matanya seolah mencari-cari perempuan itu lagi. Namun, ia tak pernah ditemukan lagi.

Hampir sebulan di tanah suci, Ismail akhirnya pulang ke kampung halaman. Walaupun rindu kampung halaman terbayar, bayangan perempuan di pintu Ka’bah tetap membekas di hatinya. Ia bercerita pada teman-temannya tentang pengalamannya, tak lupa ia ceritakan tentang perempuan itu.

Namun, tak ada seorang pun yang mengenal perempuan tersebut. Ada yang bilang, mungkin itu hanya halusinasi karena kelelahan. Tapi Ismail tak percaya. Ia yakin perempuan itu nyata.

Suatu hari, bertahun-tahun kemudian, Ismail kembali ke Mekkah untuk ibadah umrah. Kali ini, ia datang bersama istrinya, Fatimah. Saat melakukan thawaf, ia tak sengaja beradu pandang dengan seorang perempuan tua yang sedang berdoa khusyuk di dekat pintu Ka’bah.

Perempuan itu terlihat renta, wajahnya keriput, namun sorot matanya masih sama teduh dan memancarkan kebaikan. Ismail tersentak. Ia mengenali mata itu. Ya, itu mata perempuan cantik yang ia lihat dulu.

Air matanya mengalir haru. Perempuan itu, sang bidadari di pintu Ka’bah, yang ia kira makhluk jelita, ternyata hanyalah seorang hamba Allah yang salehah. Kecantikan sejati yang terpancar darinya, bukan karena paras, melainkan karena keimanan dan ketakwaan yang tertanam di dalam hatinya.

Ismail dan Fatimah segera menghampiri perempuan tua itu. Mereka mendoakan kesehatannya dan mengucapkan terima kasih. Pertemuan singkat itu memberikan Ismail pelajaran berharga. Kecantikan sejati bukanlah yang dilihat mata, melainkan yang terpancar dari dalam jiwa. Dan tempat suci seperti Mekkah, mampu membuat seseorang memancarkan cahaya keimanan yang tiada tara.

*****

Kyai Zawawi, penyair celurit emas yang legendaris itu, tengah berada di pelataran Masjidil Haram. Panas terik Mekkah menyengat ubun-ubunnya, namun tak sebanding dengan dahaga spiritual yang membawanya ke tanah suci. Matanya terus menelusuri kerumunan jamaah haji yang berdesakan mengelilingi Ka’bah. Tiba-tiba, di antara lautan ihram putih, sosok perempuan bercadar menarik perhatiannya.

Cadarnya yang tipis tak bisa menyembunyikan sorot mata yang teduh dan lembut. Gerakannya lincah, tapi tetap memancarkan aura kesucian. Kyai Zawawi tertegun. Tak pernah ia melihat perempuan secantik itu, kecantikannya yang terpancar dari dalam, bukan sekadar paras.

“Bidadari,” gumam Kyai Zawawi pelan, teringat akan syair-syairnya yang sering menggambarkan bidadari surga.

Terbius rasa ingin tahu, Kyai Zawawi mengikuti perempuan itu dengan langkah hati-hati. Ia melihat perempuan itu berhenti di depan pintu Ka’bah, Pintu Ka’bah yang konon katanya pernah disentuh Nabi Ibrahim AS. Dengan penuh khusyuk, perempuan itu meletakkan tangannya di pintu tersebut, bibirnya komat-kamit berdoa.

Kyai Zawawi menunggu dengan sabar. Setelah perempuan itu selesai berdoa dan beranjak pergi, Kyai Zawawi segera mendekat ke Pintu Ka’bah. Ia meletakkan tangannya di tempat yang sama dengan perempuan tadi, berharap merasakan sesuatu yang istimewa.

Namun, yang ia rasakan hanyalah dinginnya batu hitam itu. Kyai Zawawi mengerutkan kening. Ke mana perginya perasaan khusyuk yang ia harapkan? Ia mencari-cari lagi sosok perempuan tadi, namun jejaknya lenyap di tengah lautan jamaah haji.

Tiba-tiba, seorang lelaki tua berjanggut putih menepuk pundak Kyai Zawawi. “Kyai, percuma kau mencari perasaan khusyuk di batu,” ucapnya dengan suara lembut. “Perasaan itu lahir dari dalam hati yang bersih dan niat yang suci. Bidadari yang kau lihat tadi hanyalah perantara. Ia mengingatkan kita bahwa kecantikan sejati terletak pada keimanan dan ketaatan.”

Kyai Zawawi terdiam, tersadar akan kesalahannya. Perempuan cantik itu hanyalah perwujudan dari keimanan yang ia kagumi. Yang ia butuhkan bukanlah sentuhan fisik, melainkan kejernihan hati untuk beribadah.

Sejak saat itu, Kyai Zawawi tak lagi terlena oleh hal-hal duniawi. Ia terus belajar dan memperdalam ilmu agama, berharap kelak layak menyentuh pintu surga yang sesungguhnya.

*****

Mentari Mekah bersinar teduh di pagi Arafah. Hamzah, lelaki sepuh dengan tongkat kayu setia, melangkah tertatih menuju pelataran Ka’bah. Napasnya tersengal, otot-ototnya menjerit protes. Tapi tekadnya bulat. Ini mungkin haji terakhirnya, dan Hamzah tak ingin ada penyesalan.

Sampai di dekat pintu Ka’bah yang kokoh, Hamzah melihat kerumunan jamaah yang tak putus-putusnya. Dia menghela napas, lalu bergabung dalam antrean. Berdesakan di bawah terik matahari, Hamzah tak kuasa menahan getir. Doa yang dipanjatkan selama puluhan tahun untuk bisa haji, baru dikabulkan saat fisiknya sudah renta.

Tiba-tiba, seorang perempuan muda berpakaian ihram menarik perhatiannya. Parasnya ayu, sorot matanya teduh, memancarkan cahaya kebaikan. Perempuan itu tersenyum ke arah Hamzah, senyum yang terasa menyejukan dahaga dan lelahnya.

“Abi, lelah ya?” sapanya lembut. Suaranya seperti gemericik air zamzam, menyejukkan hati.

Hamzah tersentak. Tak biasanya orang muda mengenalnya. “Kamu siapa?” tanyanya bingung.

Perempuan itu terkekeh pelan. “Seorang yang mendoakan Abi sampai bisa sampai Mekah,” jawabnya. “Silahkan, Abi masuk duluan. Saya tunggu di sini.”

Hamzah semakin tak mengerti. Namun, melihat gestur perempuan itu yang tulus, ia pun tak menolak. Ia melangkah memasuki Hijir Ismail, berdoa dengan khusyuk tepat di bawah Talang Emas, air mata berlinang haru.

Selepas berdoa, Hamzah keluar mencari perempuan muda itu. Namun, ia tak terlihat lagi di antara lautan jamaah. Seakan lenyap ditelan kerumunan. Hamzah bertanya pada jamaah di sekitarnya, tapi tak ada yang mengenali perempuan itu.

Hamzah gundah. Pertemuan singkat itu terasa begitu nyata. Senyum teduhnya terpatri jelas dalam ingatannya. Apakah dia malaikat? Ataukah bidadari yang dijanjikan surga?

Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Namun, sejak saat itu, hati Hamzah terasa ringan dan damai. Ia pulang dengan membawa keyakinan, bahwa doa orang-orang yang tulus akan sampai, dalam wujud yang tak terduga. Dan pertemuan singkat dengan ‘bidadari’ itu, menjadi penanda keajaiban perjalanan hajinya.

*****

Hamid berdiri terpaku di tengah lautan manusia yang berdesakan. Panas terik mentari Mekkah menusuk kulitnya, namun tak sebanding dengan panas kerinduannya yang bertahun-tahun terpendam. Mimpi menginjakkan kaki di tanah haram ini akhirnya terwujud. Haji pertamanya.

Matanya menyapu Ka’bah yang berdiri kokoh di tengah pelataran. Kain kiswah berwarna hitam pekat menyelimuti bangunan kubus itu, dengan benang emas yang membentuk pola indah. Kemegahannya tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Tiba-tiba, di tengah kerumunan jamaah yang bertawaf, Hamid melihatnya. Sesosok perempuan berwajah elok, dengan sorban putih menutupi sebagian kepalanya. Matanya yang bening memancarkan cahaya keteduhan, senyumnya begitu lembut. Hamid terkesima.

Perempuan itu berjalan berlawanan arah dengannya, namun tatapan mereka bertemu. Senyuman itu terarah padanya. Hamid tak kuasa membalas, hanya terpaku melihatnya menjauh, hilang ditelan lautan putih para jamaah.

Sepanjang tawaf, bayangan perempuan itu terus menghantui Hamid. Kecantikannya bagai bidadari turun dari langit. Apakah ia benar-benar bidadari yang ditugaskan menjaga Ka’bah? Hamid menggelengkan kepala, berusaha menepis pikiran takhayul itu.

Usai tawaf, Hamid mencari perempuan itu di sekitar Ka’bah. Ia menelusuri lorong-lorong, bertanya pada petugas, namun tak kunjung bertemu. Jejaknya seakan lenyap. Hamid mulai berpikir, mungkin ia hanya berhalusinasi karena kelelahan.

Hari-hari berikutnya di Mekkah, Hamid tetap melaksanakan ibadah dengan khusyuk. Namun, bayangan perempuan itu tak pernah benar-benar pergi. Hamid semakin penasaran.

Di hari terakhir sebelum pulang ke Indonesia, Hamid berada di dekat pintu Ka’bah, Pintu Ka’bah dekat Multazam. Ia berdoa khusyuk, memohon ampunan dan keberkahan untuk dirinya dan keluarganya. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya.

Hamid menoleh. Perempuan itu. Senyumannya sama persis seperti yang ia lihat saat tawaf. “Assalamualaikum,” sapanya dengan suara yang lembut.

“Waalaikumsalam,” jawab Hamid terbata-bata.

“Apakah Bapak baik-baik saja?” perempuan itu bertanya dengan nada kepedulian.

Hamid tersentuh. Ia pun menceritakan rasa penasarannya selama ini, tentang pertemuan mereka dan bayangan yang terus menghantuinya.

Perempuan itu tersenyum. “Mungkin itu hanya cara Allah SWT membahagiakan hatimu saat berada di tanah suci,” ucapnya. “Tapi ingatlah, kebahagiaan sejati datang dari keimanan dan ketaatan pada-Nya.”

Hamid terdiam, merenungkan kata-kata perempuan itu. Ada benarnya. Ia terlalu larut dalam pesona paras.

“Terima kasih,” bisik Hamid.

Perempuan itu mengangguk, lalu kembali berbaur dengan para jamaah lainnya. Hamid terpaku melihatnya menjauh. Ia tak sempat menanyakan namanya.

Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Hamid. Bidadari di Pintu Ka’bah itu, nyata atau tidak, menjadi pengingat tentang keindahan iman dan arti penting bersyukur atas berkah yang diberikan Allah SWT. Hamid pun beranjak, hatinya terasa lebih tenang dan damai. Ia pulang membawa bekal iman yang lebih kuat, dan sebuah kisah yang akan terus terkenang.

*****

Al Kadri berdiri terpaku di tengah lautan manusia yang tengah bertawaf. Kepalanya pening, matanya panas, dan kakinya seperti terbuat dari timah. Pancaran matahari gurun yang terik tak ubahnya kobaran api yang membakar ubun-ubunnya. Sudah berjam-jam ia berdesakan mengelilingi Ka’bah, namun tak jua sampai di Hajar Aswad, batu hitam yang menjadi titik awal dan akhir tawaf.

Harapannya untuk mencium Hajar Aswad pupus saat itu. Ia pasrah terhanyut oleh arus jamaah yang terus bergerak. Namun, tiba-tiba, di tengah himpitan manusia, tangannya menyentuh sesuatu yang halus dan lembut. Ia menunduk, dan di bawah kerudung seorang perempuan, ia melihat sepasang mata yang begitu bening, memancarkan cahaya kebaikan.

“Bapak kenapa?” suara perempuan itu lembut bagai bisikan angin malam. Al Kadri tak bisa berkata-kata. Ia hanya menggeleng lemah, kepalanya semakin pening. Perempuan itu sigap menggandengnya ke pinggir kerumunan.

Di tempat yang sedikit teduh, perempuan itu mengeluarkan sebotol air zamzam dingin. Perlahan, ia menuangkan air itu ke telapak tangannya, lalu membasuh wajah Al Kadri. Seketika, rasa pening itu berkurang.

“Bapak dari mana?” tanya perempuan itu lagi.

“Indonesia,” jawab Al Kadri pelan.

Perempuan itu tersenyum. Senyumnya manis dan teduh, membuat hati Al Kadri terasa tenang.

“Bapak ingin mencium Hajar Aswad?” tebaknya.

Al Kadri mengangguk lirih.

Perempuan itu kembali tersenyum. “Mari, saya antar bapak.”

Dengan sigap, ia menarik tangan Al Kadri, menerobos lautan manusia. Al Kadri takjub. Ia seolah memiliki kekuatan super saat digandeng perempuan itu. Ia bisa melewati kerumunan dengan mudah, seolah terbelah oleh kehadirannya.

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan Hajar Aswad. Perempuan itu menuntun Al Kadri ke sebuah celah di antara jamaah. Dengan sigap, ia mencium Hajar Aswad, lalu mengusap tangannya ke batu itu dan membelainya ke wajah Al Kadri.

“Doa apa yang bapak panjatkan?” bisiknya.

Al Kadri terdiam sejenak. Ia menatap wajah perempuan itu yang begitu elok dan bersinar.

“Saya berdoa,” ujarnya lirih, “agar bisa bertemu dengan bidadari yang akan menolong saya di saat tersulit.”

Perempuan itu terkekeh pelan. Suaranya bagai dentingan gamelan yang merdu.

“Doa bapak sudah terkabul,” bisiknya lagi, lalu menghilang begitu saja di tengah kerumunan jamaah.

Al Kadri ternganga. Ia mencari perempuan itu ke segala penjuru, namun tak kunjung ditemukan. Ia baru tersadar, bahwa perempuan jelita itu tak mengenakan pakaian ihram seperti jamaah lainnya.

Al Kadri menangis terharu. Ia yakin, perempuan itu adalah bidadari yang diutus Allah untuk menolongnya. Ia pun melanjutkan tawaf dengan perasaan lega dan damai, hatinya dipenuhi syukur atas pertolongan tak terduga.

*****

Iman berdiri takjub di tengah lautan manusia yang berdesakan. Kepanasan dan kelelahan tak lagi dirasakannya. Matanya terpaku pada bangunan kubus hitam yang menjulang megah di hadapannya – Ka’bah. Aroma dupa yang khas menusuk hidung, bercampur dengan gemuruh doa dan lantunan talbiah yang menggetarkan jiwa.

Selama bertahun-tahun, Iman bermimpi bisa menginjakkan kaki di tanah suci. Impian itu akhirnya terwujud berkat kerja keras dan doa yang tak pernah putus. Namun, di antara kerumunan jemaah haji yang khusyuk beribadah, Iman melihat sesuatu yang tak terduga.

Tepat di samping pintu Ka’bah yang berwarna emas, seorang perempuan bercadar putih tengah duduk bersimpuh. Wajahnya tertutup rapat, namun aura ketenangan terpancar jelas. Di tengah hiruk-pikuk ibadah haji, perempuan itu tampak berbeda. Ada kesederhanaan yang terpancar dari cara ia berpakaian dan berdoa.

Iman memperhatikan perempuan itu diam-diam. Ia melihat air mata yang mengalir membasahi cadarnya. Iman penasaran. Apakah perempuan itu sedang bersedih? Padahal, berada di depan Ka’bah adalah dambaan setiap muslim.

Setelah selesai tawaf, Iman memberanikan diri mendekati perempuan itu. Ia harus menjaga jarak karena jemaah perempuan berada di area yang berbeda. Dengan suara pelan, Iman bertanya, “Maaf, Ibu kenapa menangis? Bukankah ini saat yang membahagiakan?”

Perempuan itu mengangkat kepalanya perlahan. Tak disangka, di balik cadar itu tersembunyi sepasang mata yang indah dan sendu. Ia tersenyum tipis, “Air mata ini tak hanya karena bahagia, Nak. Tapi juga karena rindu.”

“Rindu?” Iman mengerutkan kening. “Rindu pada siapa, Ibu?”

Perempuan itu terdiam sejenak, lalu berbisik, “Aku rindu pada bidadari yang pernah menjaga pintu Ka’bah ini.”

Iman tertegun. Bidadari? Bukankah itu hanya cerita? Ia pun memberanikan diri bertanya, “Bidadari sungguhan, Ibu?”

Perempuan itu mengangguk pelan, “Ya. Hajar, istri Nabi Ibrahim, adalah seorang bidadari yang ditugaskan menjaga Ka’bah. Dialah yang berlari tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa demi mencari air untuk Ismail anaknya yang masih bayi.”

Iman terdiam, mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Ia mengerti sekarang. Air mata perempuan itu bukan hanya karena bahagia bisa berada di depan Ka’bah, tapi juga karena rindu pada sosok pejuang yang tegar dan beriman, Hajar.

“Mungkin Ibu adalah titisan Hajar,” ujar Iman tulus.

Perempuan itu tersenyum lagi, “Mungkin saja. Tapi yang pasti, kita berdua ada di sini karena rindu pada Allah dan Rasul-Nya.”

Percakapan mereka tidak berlangsung lama. Namun, pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Iman. Ia belajar bahwa ibadah haji bukan hanya tentang ritual, tapi juga tentang mengenang perjuangan para pendahulu dan mendekatkan diri kepada Allah.

Iman melanjutkan ibadahnya dengan hati yang lebih tenang dan penuh syukur. Sosok “bidadari” di pintu Ka’bah itu akan selalu teringat sebagai pengingat akan keikhlasan dan keteguhan Hajar. Perjalanan haji ini tak hanya membawanya ke tanah suci, tapi juga ke lubuk hatinya sendiri.

Khatam!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *